Rabu, 08 April 2009

memories (chapter 2)

paman amat senang dg kedatangan kami. mungkin karena beliau udah lama tak berjumpa dg kami : aku dan kakak. sehingga intuisi seorang paman menyulut rasa rindu didalam hatinya, dan terlepaslah kerinduannya itu kini. satu2 nya hal yg memeningkan kepalanya adalah mengetahui bahwa aku dan kakak kini ternyata udah menjadi manusia herbivor, tak lagi pemakan segalanya seperti dulu. kini, makanan kami adalah ragam sayur, variasi nugget vegie, apapun, kecuali daging hewan tentunya. kini kami adalah lacto ovo vegetarian. maka, beliau kecewa karena tak bisa memberikan kami pengalaman bersantap sea food ala Selat Akar, hasil tangkapannya dilaut yg meliputi udang bertampang seperti lobster dan ikan2 beragam jenis yg aku tak tau namanya dan juga kadang udang bakau. mendapati kami sedang memasak mie goreng ato nasi goreng vegie didapur, beliau hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. mungkin dalam hatinya bertanya : apa yg telah direnggut Budha Maitreya dr keponakan2ku ini??

alur selanjutnya setelah makan malam adalah acara "gotong royong" melipat kim dan gun yg akan disembahyangkan besok dimakam papa. kim dan gun kami lipat menyerupai bentuk mata uang perak yg berlaku di tiongkok tempo dulu, sebelum uang kertas dan logam ditemukan. ada juga kertas bulat sebesar telapak tangan bermotif lingkaran setengah penuh disekeliling sisinya yg dilipat menyerupai bunga teratai. semua ini adalah ide kakak utk memudahkan dan mempercepat proses pembakarannya besok. walaupun agak ribet dan membosankan, tapi tak mengapalah, ngomong2 bisa buat olahraga jari jemari dan terapi kesabaran.

pagi yg dinanti-nanti akhirnya tiba juga. pagi disini dingin, mungkin karena buaian manja angin laut yg sedang bertiup kencang. matahari perlahan-lahan muncul dari ufuk timur sana. sempat aku berpikir : tak bosan2 kah matahari bertingkah seperti itu?, pagi terbit ditimur, dan jelang twilight tenggelam lagi dibarat, menyambut pagi belahan bumi yg lain. seperti begitu selalu, setiap hari, sepanjang masa. sungguh tolol bertanya seperti ini. tidak sadarkah aku, kalo matahari sampai bosan, masih bisakah kita hidup? masih bsakah kita bersandiwara sekehendak hati didunia? kalo itu yg terjadi bukankah itu yg disebut orang2 sebagai akhir dunia? : kiamat. dasar orang gila, sempat2 nya berpikir seperti itu. beginilah pikiran orang yg tidurnya terlalu lambat, dan sok rajin bangun cepat2, dan belum mandi pagi.

paman meminjam pompong milik temannya utk mengantar kami kekampung. pompong miliknya rupanya sedang dalam pemeliharaan rutin musiman, alias lagi turun mesin. rata2 nelayan disini tidak melaut pd waktu seperti ini, saat angin bertiup lumayan kencang, sehingga banyak diantara mereka yg memilih utk melakukan semacam pemeliharaan thd pompongnya.
mesin pompong dihidupkan persis saat kami telah siap memuat barang2 perlengkapan sembahyang cheng beng. fisik mesin itu ternyata amat memprihatinkan. hampir seluruh bagian mesin itu sudah karatan akibat kontaminasi dg air laut dan udara. deru suara batuk2 yg keluar dr knalpotnya seakan ingin memberitahu pemiliknya bahwa ia sudah lanjut usia, dan sudah tiba saatnya utk diganti dg mesin baru, ato paling tidak masuk hanggar utk pemeliharaan.

jarak antara kampung kami dengan Selat Akar adalah sekitar setengah jam perjalanan dg pompong. aku duduk dibagian depan agar bisa bebas melihat laut dan lingkungan sekitarnya. pemandangan paling lazim dilaut saat ini adalah gelombang berukuran sedang yg ntah berawal dr mana saling berkejar-kejaran hingga pecah terhempas oleh akar serabut pohon bakau atau memecahkan diri diujung pantai rawa karena sudah lelah berkejaran, membuktikan bahwa angin laut memang sedang bertiup dg kencang. awan2 kumulus yg bertengger tak jauh dr kaki2 langit membawa kabar bahwa hari ini mungkin akan turun hujan. tapi meskipun begitu takkan mengurangi keindahan yg akan kurasakan hari ini, disana, dikampung halamanku.

kami semua naik dijembatan paman Ahe yg legendaris itu. jembatan ini sudah turun temurun digunakan oleh penduduk seantero kampung manunggu kapal Belitung Jaya yg akan membawa mereka keSelatpanjang. ternyata kami sedikit sial kali ini. jembatan ini sedang dalam perbaikan dibagain pancang tengahnya, sehingga ditengah-tengah jembatan ini terdapat lubang menganga sepanjang hampir 5 m. satu2 nya alat yg bisa kami gunakan utk menyeberang adalah sebuah papan kayu lumayan tebal yg hanya berdiameter sekitar 50 cm yg membuat jantung kakak dan bibi hampir2 copot sewaktu menyeberanginya. untung saja claustrophobia ku tak parah2 amat, sehingga aku bisa menyeberang dg lumayan santai.

aku dan kakak berjalan kaki 2 orang diri menyusuri jalan semenisasi yg merupakan jalan satu2 nya yg ada dikampung kami. sobat tentu mahfum kalo melihat kondisi geografi kampung kami yg letaknya dibibir pantai dan tanahnya berawa, sehingga penduduk kampung tak berani meminta dibuatkan jalan yg banyak kepada pemerintah. takut disemprot dg mata kuliah analisis kelayakan proyek oleh dinas2 terkait. maka, jalan inilah yg akan diwariskan sampai 7 generasi berikutnya.
kampung kini sungguh sepi. aura pesimis dan kehilangan jelas terpancar dr suasana yg melingkupinya. kampung ini seperti kehilangan rohnya. ditinggalkan oleh pemuda-pemudinya merantau kekota-kota besar merajut mimpi utk bisa menjadi "orang". kampung ini menemukan kembali gairahnya ketika hari raya imlek tinggal hitungan hari, saat para perantau2 itu pulang utk berkumpul dg keluarga. satu2 nya hal yg nampaknya bisa dijadikan kabar baik adalah ternyata investasi pembangunan rumah2 penangkaran walet tumbuh dg pesat disini. disepanjang bibir pantai, rumah2 walet dibangun berdesak-desakan dg rumah2 penduduk. ada juga yg dibangun agak kedarat, berdesak-desakan dg pohon2 nyiur dan pohon mangga yg tumbuh liar disemak-semak belantara.

ritual cheng beng dikampung kami dimulai dari sebuah pondok kecil yg belum lama dibangun. didalamnya bersemayam dewa Thu Ti Kong yg sedang duduk menghadap kearah sebuah kolam dan pekuburan yg ada didepannya. inilah klenteng sederhana dewa penjaga tanah dan makam ini. berdiri disini, didepan kolam ini membuatku rindu dg masa kecil. otakku secara spontan mereplay semua kenangan yg pernah terjadi disini, bagaimana dulu aku, dan teman2 sepermainan mandi dan berenang dikolam air tawar ini, ancaman pedang rotan dr orangtua kami tak menyurutkan tekad kami utk berenang ria disini. bagaimana kami dulu bersekongkol mencuri buah rambutan, nyiur, dan mangga, bagimana kami bergulat, bercanda, bertengger dicabang2 pohon rambutan dan kemudian terjun kekolam itu, hingga pada akhirnya dibubarkan oleh sang empunya kolam yg memiliki julukan legendaris ; kapitan pattimura.
kapitan pattimura tak lain adalah sesosok yg menakutkan, yg bsa membuat anak2 kecil seperti kami bermimpi buruk malam harinya. beliau berperawakan kurus tinggi, rambut putih halus sepanjang bahu, berkumis dan berjenggot tipis panjang, sosoknya mirip sekali dg master kungfu tingkat tinggi yg kesohor diperguruan silat butong. ciri khasnya adalah selalu menyandang kaus kutang dan celana ikhwan, sebilah pisau yg biasa dipakai orang utk mencari kayu dihutan selalu terselip dipinggang sebelah kanannya. sebatang rokok dji sam soe kretek tangan senantiasa tertancap di pertigaan bibirnya, kadang dikiri, kadang dikanan. beliau secara misterius muncul disitu utk membubarkan puluhan ekor homosapiens yg mengotori kolam air tawarnya, sedikit saja semburan asap rokok keluar dr mulutnya sudah membuat kami lari pontang-panting menyelamatkan diri dr kemungkinan kena tempeleng oleh si kapitan pattimura. kalo sampai kena tempeleng oleh kapitan pattimura sobat, besok, waktu jam keluar main sekolah, jangan coba2 engkau menampakkan batang hidungmu didepan khayalak kalo tak kuat mental menahan malu karena akan diolok-olok oleh murid2 dr kelas 1 hingga kelas 6 yg bisa menghilangkan selera makan siangmu.

selesai berurusan dg dewa thu ti kong, kami kemudian berjalan lagi agak 200 m menuju makam papa. sepanjang jarak 200 m itu, disebelah kirinya adalah pemakaman dg sebagian besar nisan dibangun dg begitu indahnya. nampak sekali kalo sang anak berusaha menunjukkan baktinya dg membuat nisan yg megah dan indah utk orangtuanya yg udah lama minggat dr dunia fana. sedangkan disebelah kanan adalah deretan pohon mangga sebanyak 7 pohon dan semak2 belukar yg kami sebut 7 pohon. daerah sekitar 7 pohon ini adalah salah satu yg terangker dikampung kami. konon, bnyak orang yg pernah suicide disana. maka, kami tak pernah sekalipun mau main disana, apalagi sampai nekat mencuri buah mangganya. kami tak berani berurusan dg hantu2 yg gentayangan disitu. pikir kami, kalo mau uji nyali cukuplah berurusan dg si kapitan pattimura saja, jgn dg penghuni2 7 pohon itu.

makam papa terletak disebelah kiri berjarak 1 makam tepat dipersimpangan jalan keteluk belitung. makam papa masih belum bernisan. bukannya kami tak berbakti sobat, papa juga akan ngerti kalo kami masih berat diongkos. tapi, suatu hari nanti kami pasti akan mempimp up makam itu dg tak kalah indah dg makam2 yg sudah ada.
aku membabat-babat rumput yg sudah mulai tumbuh panjang diatas makam papa dg sebilah parang yg tadi aku pinjam dr salah seorang saudara kami. sedangkan kakak sibuk dg urusan menyiapkan alat2 sembahyang ; menyalakan lilin, membakar hio dan mengatur kim, gun, dan aksesori lainnya utk dibakar nantinya. ternyata mood langit susah dibaca hari ini, sebab panas terik dan mendung saling muncul silih berganti dalam tempo yg sulit diukur. aku kemudian dipanggil kakak utk membakar hio dan berucap dlm hati kepada papa bahwa kami sudah datang utk bersembahyang ceng beng utknya, aku harap apa yg kami sembahyangkan ini bisa diterima olehnya didunianya dan meminta maaf bahwa kali ini aku tak bisa membawa adik kami karena ia sedang ujian. aku yakin papa ada disana, menyambut kami, anak-anaknya pulang utknya.
lalu, aku dan kakak lalu menempelkan kertas berwarna-warni diatas makam papa, inilah yg disebut dg hian cua. kemudian memulai ritual pembakaran kim dan gun yg telah kami lipat diselat akar dan aksesori lainnya didepan makam papa. paman dan bibi kemudian bergabung dg kami, membantu kami membakar benda2 sembahyangan tsb. ditengah-tengah ritual pembakaran itu, aku tak kuasa menahan air mata yg turun membasahi dan membuat merah kedua mataku. aku sedih terkenang musim gugur 1992, sedih karena ia begitu cepat meninggalkan kami, sedih karena kepergiannya membuat kami semua tercerai berai, dan kini betapa aku sangat merindukannya. namun akhirnya aku sadar, aku tak boleh terus berkutat dg masa lalu, aku tak ingin papa, mama, kakak, dan adik sedih karena aku jadi demikian lemah. demi mereka aku harus tegar dan kuat.

akhirnya ritual usai sudah. kami menunggu hingga api melalap habis semua yg kami hidangkan utknya. dg sikap anjali aku dan kakak permisi pada papa. mengatakan padanya bahwa kami akan kembali lagi.
sekarang aku ingin mencari teman2 lama utk bernostalgia. aku dapati seseorang sedang memanggil-manggil namaku. oh, si ali rupanya. akupun lalu langsung nyelonong masuk kedlm rumahnya. sedangkan kakak, bibi, dan paman pergi kearah hilir, keseberang sungai utk silahturahmi dg saudara2 dr pihak mama.
sebenarnya antara aku dg ali masih ada hubungan saudara. sepertinya asal muasal persaudaraan itu terjalin karena kakekku dg kakeknya adalah adik beradik, tak tau sapa yg lebih tua. aku tak mau pusing memikirkannya. didalam rumah ada ibu si ali, juga abgnya yg paling tua, dan juga adik perempuannya yg sudah menikah beberapa waktu lalu. ibunya kemudian berbaik hati memasakkan makan siang utkku.
selesai makan siang aku dan ali pergi ke jembatan belakang rumah teman kami si atan yg nampaknya juga masih saudaraan dg kami. riwayat persaudaraan kami dg si atan ini juga tak kalah simpelnya sebagaimana aku dg ali. yaitu mungkin kakek kami bertiga bersaudara secara kontan.


rumah atan adalah rumah penduduk kampung pd umumnya. terletak dibibir pantai, dg pondasi rumah dipancang kuat didalam pantai laut yg berlumpur itu. dibelakang rumahnya ada peternakan babi dan ayam, terus lagi ada jembatan sepanjang lebih kurang 50 m tempat sang tuan rumah memangkalkan sampan dan membongkar hasil tangkapan ikan. kami menemui atan didekat bibir jembatan itu, ia sedang sibuk menjahit jaring2 penangkap ikannya yg udah putus. aku dan atan udah lama tidak bertemu, mungkin udah lebih dari 7 tahun. maka, ini nampaknya akan menjadi nostalgia yg mengasyikkan. seperti biasa nostalgia dimulai dg basa-basi seputar masalah pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dipekanbaru hingga merangkak ke hal2 yg sifatnya lebih pribadi semacam cerita tentang asmara. atan kemudian berjalan kedapur rumahnya utk mengambil secangkir kopi utk ku.
aku menghambur kejembatan sebentar. langit kali ini cerah, tak begitu panas. aku putar kepalaku kearah jam 8. otakku kembali secara spontan mereplay kenangan2 yg berlatar belakang tempat diarah jam 8 itu. disitu dulu ada sebuah rumah panggung sederhana tempat seorang bayi laki2 satu2 nya dlm keluarga itu dulu berteriak memaki-maki bidan karena mengeluarkannya secara kasar dr rahim mamanya. disana lah dulu aku lahir, merangkai cerita2 indah masa kecil, bersembunyi diketiak mama saat petir menyambar kuat. disanalah segala kiprah keberandalan masa kecilku dimulai yg membuat namaku tenar diseantero kampung. kalo mama bercerita tentang masa kecilku, bagaimana ekspresi ku waktu dulu yg seperti lutung ditinggal lari bininya kawin lagi ketika aku jatuh dipantai laut yg berlumpur, bagaimana dulu aku hampir hanyut dibawa air laut karena terjatuh saat air sedang pasang tinggi, dan bagaimana riwayatnya tetangga2 rumah menjulukiku anak babi hutan karena tabiatku yg bsa merisaukan pikiran para orang tua seantero kampung karena suka berkelahi dg anak2 mereka, maka berturut-turut, mulai dr nenek, bibi, kakak, calonnya, dan adik akan tertawa sampai berguling-guling. sedangkan aku hanya bisa menyunggingkan senyum lebar2, terpojok, berusaha sekuat tenaga menguningkan muka yg terlanjur merah karena menanggung malu akibat aib dibuka mama didepan khayalak.


kemudian aku putar kepalaku kearah jam 3. disana, dijembatan itu adalah tempat dimana dulu kami biasanya berenang kala air laut sedang pasang tinggi. kami melompat, terjun dg gaya sebebas-bebasnya. main petak umpet, kejar2 an, lempara2an tanah berlumpur milik pantai laut, adu 'sprint' 100 m, hingga bergelantungan dikayu2 dibawah jembatan seperti sekawanan lutung yg bergelantungan dipohon2 nyiur didarat sana. aku bawa kenangan2 itu kembali, aku terdiam, tertegun menyadari betapa kini semua telah begitu jauh berbeda. disana, diarah jam 8 itu, tak ada lagi rumah disitu karena udah lama dibongkar dan telah rata dg panatai laut,yg ada kini hanyalah deretan pohon bakau yg masih muda yg tumbuh persis dibawah rumah kami dulu. disitu, diarah jam 3 itu, tak pernah lagi ada anak2 kecil yg berenang, bersuka cita dilaut seperti kami dulu. aku tertegun, menyadari para sahabat masa kecilku banyak yg udah bermigrasi kedaerah lain, melihat bagaimana nasib mereka yg tersisa disini berakhir dipeternakan babi dan jaring2 penangkap ikan. terkejut karena sahabat2 'laskar pelangi'ku itu ato bahkan yg lebih muda dr ku sudah banyak yg menikah, walaupun masih ada juga beberapa diantara mereka yg jadi bujang lapuk, alias tak kawin2 juga walaupun umur udah jauh melesat melewati persyaratan.
tapi, aku bersyukur karena terlahir disini, ditempat yg luar biasa ini yg memberiku pengalaman dan cerita masa kecil yg begitu indah dan berwarna. aku bersyukur memiliki papa, walaupun cuma sebentar, memiliki mama, kakak, dan adik. bersyukur bsa tumbuh bersama-sama dg sahabat2 kecilku. semua lembaran2 kenangan yg pernah terukir bersama mereka akan kusimpan erat2 didalam hatiku dan akan kukenang sepanjang masa.


aku tenangkan diri. aku teguk segelas kopi hitam yg telah disiapkan oleh atan. kami kemudian bercengkerama lagi. membuat lelucon utk saling menertawakan. aku dan ali kemudian pamit. karena aku tak bsa lama2 disini karena harus kembali lagi ke selat akar. kamipun kembali ke rumah ali, duduk diberanda rumahnya dg kembali ditemani oleh segelas kopi. ali adalah salah satu teman sekelasku waktu sd dulu. aku agak risau dg kondisi morilnya sekarang. nampaknya, sahabatku ini mulai sedikit kehilangan kewarasannya. dia selalu saja bercerita tentang mimpinya yg isinya tak lain tentang 7 orang dewa yg menusuk perutnya sebanyak 7 kali dg pedangnya. kalopun bukan 7 orang, yah pasti 5 orang dewa menusuk perutnya 5 kali pula. aku perhatikan wajahnya, melihat kedalam matanya. sungguh kasihan sahabatku ini, umurnya 5 tahun lebih tua dariku, tapi pola pikir dan cara pandangnya masih seperti dia smp dulu. aku bertanya-tanya dlm hati makhluk macam apa yg telah merenggut kenormalan pikiran sahabatku ini, mengapa gerangan dia menjadi seperti ini sekarang. suara kakak yg memanggilku pelan namun dekat membuyarkan lamunan ku tentang sahabatku ini. akupun permisi dan berterima kasih pada ali dan ibunya, utk kemudian kembali keselat akar via pompong teman paman kami itu.

2 komentar:

  1. buat aku tambah melow..ingat kampung halaman hehehehe...

    entah berapa puluh tahun pun kita meninggalkan kampung halaman, kerinduan itu akan selalu ada. tak akan pernah hilang.

    sahabat2 di kampung...yang sudah entah kemana, namun semua kenangan akan selalu hadir apalagi kalau lagi sendiri..lalu kita bisa tersenyum sendiri...mengingat kenangan masa lalu bisa mmebuat kita seakan-akan kembali ke masa itu.

    cerita nyata yang membawa separuh jiwaku..ikut disana. :)

    BalasHapus
  2. walaupun semua telah begitu jauh berbeda, telah berubah. tapi, itulah hdp sobat. tetaplah langkahkan kakimu kedepan, d sana, waktu menanti, menantang dirimu utk unjuk diri. bertarung lah dg nya. n semoga engkau bsa menang..

    BalasHapus