Rabu, 15 April 2009

aku (tak) akan sendiri (chapter 3)

selat akar juga adalah desa pesisir pada umumnya, yg mana laut adalah "tambang minyak" bagi mereka. bedanya dibanding daerah pesisir lain adalah peradaban desa ini dibangun disepanjang daerah aliran sungai selat akar, berbeda dg desa seperti kuala asam, teluk belitung, mengkilau, maupun desa pesisir lainnya yg peradabannya dibangun disepanjang bibir pantai. kondisi tanah didesa ini sedikit lebih buruk ketimbang tanah dikampung kami, tanah disini adalah tanah berawa hutan bakau yg lembek dan bergelombang, sehingga penduduknya harus mereklamasi tanah dikampung ini utk dijadikan jalan dan disemenisasi, dan jalan tsb layaknya jalan dikampung kami, juga satu2 nya jalan didesa ini, yg belum lama disemenisasi. PLN tak masuk sini, nampaknya kacab PLN kabupaten Bengkalis pening memikirkan bagaimana caranya menyambungkan kabel dr bengkalis ato teluk belitung kedesa ini, pening memikirkan berapa nilai investasi yg diperlukan utk pengadaan genset, tiang2 listik hingga kabel2 nya. melihat jumlah penduduk yg tak begitu banyak dan medannya yg sulit, maka analisis kelayakan bisnis oleh kacab tsb membawa kesimpulan bahwa PLN akan rugi. maka, desa ini pun tak dialiri listrik. untung saja, penduduk desa ini lumayan sejahtera, sehingga hampir setiap KK memiliki mesin diesel sbg pembangkit listrik, sedangkan bagi yg tak punya mesin cukup memohon kemurahan hati tetangganya utk membolehkan dirinya menyambung kabel utk mendapatkan aliran listrik sehingga merdeka dr hidup dizaman batu.

penduduk desa ini mayoritas adalah suku "Asli" dan hanya sedikit orang etnis tionghoa. dimataku suku asli ini amat unik. mereka secara morfologis sangat mirip dg orang melayu, namun mereka sangat lekat dg budaya orang tionghoa. bahasa pergaulan mereka adalah bahasa melayu suku asli. jika orang melayu menyebut mereka dg "mike", maka org asli menyebutnya dg "mikak", kalo org melayu bertanya mau kemana dg "nak kemane", maka org asli akan bertanya dg "nak kemanak", namun meskipun sedikit berbeda, kedua bahasa ini sangat mirip logat melayunya. masyarakat suku Asli melaksanakan semua ritual layaknya orang tionghoa. mereka punya toa pek kong, beragama Budha, dan merayakan imlek. akhirnya akupun berhipotesa, agaknya mama kami adalah keturunan suku Asli, maka nampaknya kami, anak2 nya adalah blasteran orang asli dg orang tionghoa. pantesan!, banyak yg bilang kalo aku ini tak terkesan spt orang tionghoa, mereka bilang aku lebih mirip orang batak (karena tampangku yg keras), banyak yg bilang aku mirip orang nias (karena kulitku putih), ada juga yg bilang mirip orang melayu (karena mataku besar). waktu aku sharing masalah ini dg mama dan kakak, mereka bukannya membantu, malah menertawakanku sampai sakit perut. namun meskipun begitu aku tetaplah orang Indonesia, 100 % made in Indonesia.

malam kedua disini aku lalui dg damai. jika malam sebelumnya adalah malam terburuk sepanjang dekade karena aku diserang oleh serangga2 brangsat yg namanya "basat" yg membuatku tak bisa tidur sepanjang malam, menanggung derita akibat rasa gatal luar biasa karena digigit basat2 brangsat itu. malam ini aku bisa tidur dg pulas tapi tak puas. pagi baru ketahuan kedoknya waktu kakak membangunkanku utk mandi pagi, sebab kami akan berangkat keselat panjang via kapal mekar jaya yg membosankan itu.
selesai mengemas barang2 bawaan, aku menghambur kedapur utk mencari kopi, ternyata semua sudah tersedia disitu. nenek membuatkanku segelas sereal dan menyiapkan biskuit2 utkku sarapan. nenek memang selalu begitu, perhatian dan menyayangi semua cucunya. sedangkan kakak tak punya selera utk makan. mungkin takut muntah diperjalanan laut yg akan sedikit bergejolak karena gelombang.

kapal mekar jaya berangkat agak pagi, sekitar jam 7.30. paman, bibi, dan saudara2 sepupu kami mengantar kami kejembatan. aku jadi ga enak, kek bupati aja pake diantar-antar segala. sambil menunggu mekar jaya, aku sempat memotret matahari yg mulai menampakkan diri samar2 diatas jajaran pohon bakau di nunkejauhan sana. langit hari ini cerah, tak ada tanda2 akan turun hujan, maka perjalanan nanti akan cukup aman.
penumpang mekar jaya hari ini tidaklah ramai. aku dan kakak duduk dibagian belakang kapal, didekat ruang mesin, membelakangi jendela yg meniupkan angin dingin halus yg bisa membangkitkan bulu kuduk dan memancing rasa ngantuk.

perjalanan kali ini tak kalah bosannya dg perjalanan hari pertama kemarin, malah nampaknya lebih buruk. untuk pertama kalinya sepanjang sejarah aku merasa mual dalam suatu perjalanan laut. mual karena begitu banyak bau tak sedap yg beterbangan disini, mulai dr bau lantai kapal yg terkontaminasi tanah dan air laut, hingga bau badan penumpang2nya. ternyata diserang rasa mual itu sungguh tak nyaman sobat, bawaannya pengen muntah, tapi tak ingin. otomatis , diserang mual semacam ini menyebabkan list hal2 yg paling kubenci dalam hidup ini bertambah satu nomor kenomor tiga setelah menahan ngantuk dan sakit perut secara terpaksa di urutan 1 dan 2. untuk mengakali rasa mual itu aku coba utk tidur, rupanya sukses pula siasatku itu, aku tertidur hingga kakak membangunkanku karena Selat panjang sudah hampir dipangkal hidung.

kami turun ditempat biasa, dibelakang kedai kopi orang melayu tempat dimana kapal mekar jaya biasanya mangkal. aku dan kakak naik becak kerumah paman kedua kami. tujuan kami keselat panjang adalah utk sembahyang puncak cheng beng yg jatuh esok hari dg objek prioritas adalah "shin cu" papa yg bersemayam dirumah paman kedua kami itu.
selat panjang tidaklah begitu menimbulkan kesan yg dalam buatku, kota ini hanyalah tempat kami suka berwara-wiri waktu kecil dulu. orang tua kami dulu selalu mengajak kami kesini waktu libur sekolah, tempat yg paling kami senangi waktu itu adalah pasarnya karena kami bisa merengek meminta dibelikan mainan kepada orang tua kami, kalo sukses, maka mainan itu akan kami pamerkan kepada teman2 kami disekolah. dasar anak2 ingusan yg sombong. begitulah kami dulu..

karena tempat ini tak terlalu berkesan, maka aku juga tak begitu antusias. aku hanya mengantar kakak keklenteng yg megah didekat pasar utk sekedar melihat-lihat dan sembahyang, kemudian kami pelisiran kepasar sebentar utk mencari oleh2 dan membeli beberapa perlengkapan utk sembahyang esok.
hari ini adalah puncak ritual sembahyang cheng beng bagi orang tionghoa, dg bertempat dirumah masing2, kami bersembahyang utk leluhur kami didepan "shin cu" leluhur kami. seperti biasa, persembahyangan dimulai dr menyiapkan hidangan dg menu yg bervariasi, menyalakan lilin dan dupa, dan diakhiri dg pembakaran kertas kim dan gun.

akhirnya lengkap sudah keseluruhan round down acara sembahyang cheng beng tahun ini. aku dan kakak pun bersiap kembali kekota kami masing2.
kakak berangkat lebih awal, yaitu jam setengah sebelas pagi. kakak bermaksud berangkat jam 1, agar bisa bareng dgku kepelabuhan karena aku juga pulang jam 1. namun, tak ada kapal tujuan Batam yg berangkat jam 1, adanya jam 10.30 dan jam 2 an. kalo milih jam 2, kakak bisa mati kebosanan. maka akupun menyarankannya utk ambil jam 10.30 aja. dan kemudian aku mengantarkannya kepelabuhan hingga kedepan pintu kapal batam jet yg laju itu.

aku sendiri pulang jam 1.30. kali ini aku kembali dapat tiket garuda yg telah dibeli kakak pas hari pertama beliau sampai diselat panjang. aku diantar oleh pacar adik sepupuku. aku check in, menitipkan bagasi, kemudian menghambur kerumah makan disamping ruang tunggu utk makan siang, karena teringat malam ini akan berfutsal ria dg temen2 kampus, maka aku tak boleh tidak utk makan siang.
selesai makan, aku langsung masuk kespeed boat garuda. mengambil kursi dibagian belakang dan duduk didekat jendela agar bisa melihat laut.

kapal berangkat tepat jam 1.30. aku layangkan pandangku kelaut lepas didepan sana, dan mengucapkan selamat tinggal kepada selat panjang, kepada selat akar, dan tentu juga kepada kuala asam
dalam hati, mengatakan kepada mereka bahwa aku akan kembali lagi tahun depan. tapi kali ini aku tak akan datang sendiri, setelah apa yg kurasakan selama perjalanan ini, aku merasa perlu utk kubagikan perasaan itu kepada seseorang. seseorang yg akan kugandeng tangannya melewati jalan tapak demi setapak di kampung kami, melihat indahnya matahari terbenam dan gelombang2 kecil yg saling berkejar-kejaran dijembatan tempat aku dulu sering berenang, mendengarkan nyanyian tuan2 burung camar bersama-sama, akan kukenalkan padanya hewan2 kecil yg menari-nari indah dipantai yg mengiringi surutnya air laut, seseorang yg akan kuceritakan padanya kisah saddy ending musim gugur 1992, yg akan meremas kuat kedua tanganku, menguatkanku ketika aku down. aku tak ingin lagi bergeming dg netralitas, akan kucari sekeping puzzle yg akan melengkapi puzzle hatiku yg belum sempurna. semoga aku bisa menemukkannya, ataukah aku sudah menemukannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar